‘Generation Pandemic’ adalah judul utama dari majalah Time yang diterbitkan pada Juni 2020. Majalah Time melakukan investigasi dan menemukan bahwa krisis global telah menginterupsi cita-cita serta pandangan hidup dari hampir seluruh generasi muda di Amerika Serikat. Serupa namun tak sama, di Indonesia generasi muda yang kerap dilabel dengan sebutan Milenial dan Gen Z juga mengalami situasi yang sama. Para wisudawan dan wisudawati misalnya harus menjalani peristiwa penting kelulusan secara daring. Peristiwa wisuda yang selayaknya penuh nuansa romantisme, dilakukan secara berjarak tanpa haru-biru serta tekstur ingatan yang layak diceritakan di hari tua.

Anak muda juga tengah bergelut dengan berbagai perubahan psikologis di tengah masa isolasi, dari jenuh, kesepian, sulit tidur, over screen time hingga kesulitan berkonsentrasi

Mantra “Follow your passion” sebagaimana digembar-gemborkan para influencer lokal sebelum masa pandemi tak lagi memiliki daya sihir yang sama

Detail artikel dari tulisan Dr Muhammad Faisal ini, dapat di klik di link aslinya di pophariniini.com

Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakan hampir semua lini industri, tidak terkecuali industri olahraga. Efeknya pada olahraga bahkan menjadi salah satu yang terburuk, bisa dibayangkan ketika pertandingan olahraga tidak memperkenankan adanya penonton. Bagaimana kita dapat mendukung tim favorit kita atau sekedar menikmati pertandingan secara langsung?

Seharusnya tahun 2020 menjadi tonggak penting dalam dunia olahraga global, ditandai dengan Olimpiade Tokyo yang setelah perdebatan alot akhirnya ditunda ke tahun 2021. Apakah hanya Olimpiade yang tertunda? Tentu saja banyak event olahraga lain, terutama multi-sport event baik di Indonesia maupun global yang ditunda pelaksanaannya sampai tahun depan. Apa saja? Mari kita lihat sesuai dengan urutan waktunya.

FIFA U-20 World Cup, 20 Mei s/d 11 Juni 2021

Usulan mengenai Indonesia yang ditunjuk menjadi tuan rumah FIFA U-20 World Cup tentunya disambut baik oleh presiden RI. Sampai saat ini, beberapa perbaikan infrastruktur stadion sepak bola tengah digencarkan. Calon kuat kota yang akan menjadi tuan rumah FIFA U-20 adalah Palembang dengan stadion gelora Sriwijaya yang sudah berstandar internasional. Stadion ini terakhir kali digunakan untuk ajang Asian Games ke-18 tahun 2018.

Tokyo Olympic Games, 23 Juli s/d 8 Agustus 2021

Ada sesuatu yang menarik pada pelaksanaan Olimpiade Tokyo tahun depan. Pemerintah bersama dengan organizing committee dan IOC (International Olympic Committee), bersepakat bahwa nama resmi Olimpiade tetap disebut “Tokyo 2020”, walaupun akan diadakan di tahun 2021, mengapa?

Ini berkaitan dengan city branding yang sudah dilakukan selama ini. Image Tokyo 2020 sudah menjadi awareness yang cukup besar tidak hanya bagi masyarakat di Jepang melainkan di seluruh dunia. Merchandise seperti maskot atau tshirt sudah diburu bahkan sejak dua-tiga tahun sebelumnya.

Selain itu, yang akan membuat Tokyo 2020 menarik adalah pilihan cabang olahraganya; skateboard akan tampil perdana sebagai olympic sport. Ada juga e-sports yang akan menjadi bagian dari olahraga yang dipertandingkan.

Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua, 20 Oktober s/d 4 November 2021

Stadion Utama Papua

Sumber Foto : Kemenpora

Di dalam negeri, PON yang seharusnya diadakan tahun ini juga mengalami penundaan. Akan tetapi ini justru memberikan ‘perpanjangan waktu’ khususnya bagi pemerintah kota Papua yang masih mempersiapkan venue-venue pertandingan.

Selain infrakstruktur, kesiapan SDM di Papua juga menjadi salah satu hal yang sangat penting, karena ini kali pertama Papua menjadi tuan rumah event olahraga terbesar di Indonesia.

SEA Games Hanoi, 21 November s/d 2 Desember 2021

Di tingkat regional, SEA Games ke-31 akan diadakan di Hanoi, Vietnam. Kota Hanoi pernah bersaing dengan Jakarta dalam bidding menjadi tuan rumah Asian Games ke-18 beberapa tahun silam. Saat itu Hanoi unggul dalam vote dan ditunjuk menjadi tuan rumah, akan tetapi karena masalah “border dispute” dengan China, Hanoi mundur dan Jakarta sebagai runner-up bersedia menjadi tuan rumah Asian Games ke 18 tahun 2018.

Cabang olahraga yang biasanya dipertandingkan pada SEA Games adalah olahraga seperti sepak takraw, pencak silat, traditional boat race dan olahraga khas Asia lainnya. Indonesia sendiri sedang melakukan lobby agar sambo, triathlon dan e-sport juga dapat dipertandingkan, karena Indonesia memiliki peluang meraih emas pada cabor tersebut.

Inilah beberapa multi-sport event yang akan diadakan di tahun 2021. Terlihat cukup padat terutama bagi kesiapan atlet yang akan mengikuti beberapa event sekaligus. Kondisi fisik dan mental atlet perlu dipersiapkan tidak hanya oleh pelatih tetapi psikolog, dokter, masseur dan tim pendukung lainnya. Semoga atlet Indonesia dapat berjaya dan meraih prestasi yang membanggakan bagi Indonesia, sehingga menjadi “mood booster” di masa pandemi ini.

Indonesian youth trends in a 2019 kaleidoscope

Buku Generasi Phi

“Ulasan Faisal banyak memberikan kedalaman wawasan. Terutama ketika harus berkomunikasi dengan generasi millenial Indonesia.”

—Affi KhresnaPenggiat sinergi lintas Generasi & Chief Happiness Officer Pinasthika Creativestival

Anda bingung melihat pemikiran dan perilaku anak muda zaman now. Bisa dimaklumi. Perbedaan generasi tentu akan memunculkan gap. Mispersepsi dan miskomunikasi seringkali terjadi. Tidak jarang berujung pada perselisihan dan pertengkaran.

Didasarkan pada aktivitasnya meneliti anak muda lebih dari satu dekade, Penulis mengajak kita untuk mengetahui dan memahami generasi millenial lewat pengelompokan generasi yang khas Indonesia. Selain akan mengurangi gap antar generasi, pada saat yang sama juga akan mampu mempersiapkan generasi berikutnya dengan tepat .

Review: Buku Generasi Phi, Memahami Milenial Pengubah Indonesia

Anda bingung melihat pemikiran dan perilaku anak muda zaman now. Bisa dimaklumi. Perbedaan generasi tentu akan memunculkan gap. Mispersepsi dan miskomunikasi seringkali terjadi. Tidak jarang berujung pada perselisihan dan pertengkaran.
Didasarkan pada aktivitasnya meneliti anak muda lebih dari satu dekade, Penulis mengajak kita untuk mengetahui dan memahami generasi millenial lewat pengelompokan generasi yang khas Indonesia. Selain akan mengurangi gap antar generasi, pada saat yang sama juga akan mampu mempersiapkan generasi berikutnya dengan tepat .

“Ulasan Faisal banyak memberikan kedalaman wawasan. Terutama ketika harus berkomunikasi dengan generasi millenial Indonesia.”
—Affi Khresna, Penggiat sinergi lintas Generasi & Chief Happiness Officer Pinasthika Creativestival

Selama ini mungkin kita sudah sangat familier dengan istilah generasi milenial. Generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1982 – 2004. Tapi bagaimana dengan generasi phi? Pernah dengar kah?

Generasi phi disebut sebagai generasi pengubah Indonesia. Generasi ini adalah yang lahir antara tahun 1989 – 2000 dan bakal menjadi penentu gerak langkah seluruh generasi muda Indonesia sampai 50 tahun mendatang. Melalui buku Generasi Phi, Memahami Milenial Pengubah Indonesia, semua hal yang berkaitan dengan generasi phi serta perkembangan perubahan  yang terjadi dari generasi ke generasi dikupas habis. Ada banyak wawasan menarik terkait perubahan yang pernah terjadi dan yang diprediksi akan terjadi di setiap generasinya.

Sudah dimuat fimela.com

Generasi Phi, Generasi Bingung?

“Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.” (Neson Mandela)

Kalimat tersebut sering kali terdengar di beberapa tempat dan kesempatan. Mungkin saat belajar di kelas, seminar motivasi, ataupun diskusi. Lalu timbullah pertanyaan, pemuda seperti apakah yang bisa memimpin dan mengubah Indonesia untuk menjadi negara yang maju?

Dewasa ini, generasi muda yang kerap disebut sebagai generasi milenial tengah menjadi perbincangan. Dari berbagai obrolan, yang kerap terdengar adalah hal-hal negatif tentang generasi milenial. Mereka disebut asosial, tak punya loyalitas, individualis, dan masih banyak cap negatif lainnya yang dilontarkan.

Anggapan negatif itu bisa muncul karena generasi yang senior acapkali salah tafsir terhadap generasi milenial. Bukan karena kurang informasi dan data, melainkan karena kurang cermat melihatnya.

Tak mau suasana semakin keruh, Komunitas Perempuan Kebaya, Kopi, dan Buku menggelar diskusi bertema “Jebakan Milenial” di FX Sudirman, Jakarta, Jumat (23/2). Kali ini, diskusi menghadirkan dua pembicara, yaitu pendiri Youth Laboratory Indonesia, Muhammad Faisal dan Direktur Andal Software, Indra Sosrodjodo.

Diskusi ini diawali dengan pemaparan oleh Muhammad Faisal. Dia menjelaskan tentang pengertian generasi milenial yang diangkat sebagai tema diskusi. Menjalani sebuah biro riset anak muda pertama di Indonesia, Faisal mengaku lebih suka menggunakan sebutan generasi fi (phi, nama huruf ke-21 dalam abjad Yunani) daripada generasi milenial.

“Saya tidak gunakan sebutan generasi milenial, karena kesannya over judge. Huruf phi sendiri digunakan dalam ilmu biologi dan juga matematika sejak zaman Yunani kuno. Phi juga disebut sebagai golden ratio yang menyimbolkan harmoni dan kesempurnaan. Dalam arti, generasi milenial di Indonesia saat ini menampilkan dua sifat itu, harmoni dan kesempurnaan,” terangnya.

Perbedaan karakter dan sudut pandang dengan beberapa generasi sebelumnya membuat generasi phi “terlihat salah”. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Dalam buku Generasi Phi yang ditulis Faisal, antara lain tertulis,”Tidak pernah ada karakter generasi yang benar-benar baru. Karakter generasi adalah kolektif yang diwariskan dari generasi terdahulu.”

Dengan demikian, menurutnya, sebuah karakter terbentuk karena situasi sosial ataupun politik yang terjadi saat sebuah generasi dibesarkan. Dalam kurun waktu yang berjarak 30 tahun, hadir tiga generasi sebelum phi. Pertama, generasi “alfa”yakni angkatan Soekarno, Tan Malaka, dan Sutan Syahrir.  Mereka adalah founding fathers Indonesia. Dalam persoalan karakter, mereka adalah sosok yang memiliki sifat profektif.

Generasi kedua adalah “beta”, yakni angkatan Adam Malik, Soeharto, dan Bung Tomo, yang lebih memiliki sifat heroik. Generasi ketiga disebut “omega”, yang diisi oleh Iwan Fals, Rano Karno, Roy Marten, dan lain-lain. Dalam diri mereka terbenam rasa adaptif dan kompetitif, karena keterbatasan ruang berekspesi.

Sedangkan generasi phi adalah mereka yang lahir sekitar 1982 sampai 2004, (18-24 tahun). Menurut Faisal, phi adalah simbol yang mewakili generasi milenial yang kerap diangap irasional dalam bertindak. Mereka lahir dalam keadaan sosial-politik yang dipenuhi dengan perkembangan digital, radikalisme, korupsi besar dalam pemerintahan, dan pasar bebas. Generasi phi lebih cenderung tertarik pada industri kreatif dan mempunyai minat pada dunia politik.

“Generasi phi saat ini memiliki kecenderungan untuk tidak masuk ke dalam struktur pemerintahan. Mereka lebih senang melahirkan gerakan independen dan aksi kreatif yang relatif berbeda dengan gerakan politik masa lalu. Mereka lebih senang membicarakan isu dan sikap politik melalui media sosial,” terangnya.

Perilaku semacam itu, menurut Faisal, tidak buruk. Namun, bila terus dibiarkan, kemungkinan besar akan mengurangi kadar nasionalisme mereka beberapa tahun mendatang. “Mungkin tahun 2039 nanti yang dipilih menjadi presiden adalah seseorang yang mampu mendefinisikan Indonesia itu seperti apa,” katanya.

Selain itu, Faisal melihat generasi muda yang lahir di era digital kini mengalami “kebingungan mental”. Mereka mendapatkan banyak informasi, dari yang faktual hingga hoax. Mereka dipaksa untuk mencerna sendiri dan mempersepsikannya sebagai realita. Akibatnya, tak sedikit generasi muda mengalami kebingungan, bahkan frustrasi.

Untuk meminimalisasi dampak negatif perkembangan zaman terhadap generasi muda, Faisal menyatakan peranan komponen mikro, khususnya keluarga, sangat penting. Keluarga bisa menumbuhkan rasa nasionalisme, sekaligus menolak intoleransi dalam diri anak-anak muda. Hal itu bisa dilakukan, antara lain lewat diskusi-diskusi kecil, membangkitkan lagi kesenian lokal, dan juga melakukan pendekatan personal.

“Saya yakin budaya dapat menjadi jembatan penyambung persepsi dan pemahaman antargenerasi, serta mengurangi jurang prasangka dan steriotip,” ujar Faisal.

Hal senada disampaikan Indra. Dia mengaku kerap menemukan “kebingungan” yang menyelimuti generasi milenial. Dia juga mengaku cukup sulit menghadapi generasi milenial yang tak tentu arah. Bahkan, dirinya pun sulit mencari pegawai muda yang tertarik dengan perusahaannya yang bergerak di bidang teknologi dan informasi.

“Kalau anak muda berkata sulit cari pekerjaan, kita pun sama. Sulit cari pekerja muda yang memiliki tujuan hidup ke depan. Kebanyakan dari mereka bingung ketika ditanya mau jadi apa 10 tahun ke depan. Karena, mereka lebih mengejar passion daripada karier,” terangnya.

Untuk merangkul generasi milenial, Indra mengaku terus melakukan pendekatan personal kepada para pegawai-pegawai muda di kantornya. Sebagai atasan, dirinya mencoba untuk lebih terbuka, sehingga bisa mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan generasi milenial dalam merintis karier.

“Ya, saya lakukan tanpa adanya batasan bos dengan karyawan. Setelah saya lakukan itu, mereka (generasi milenial) jadi lebih terbuka. Di sanalah saya mengedukasi mereka, untuk tetap berjalan terstruktur dan mereka pun mampu menentukan arah kehidupan mereka,” terangnya.

Sumber : beritasatu.com

8 Karakter yang Perlu Diketahui Mengenai Generasi Langgas (Millenials Indonesia)

Generasi Langgas merujuk kepada Generasi Millenials atau Gen Y, yaitu generasi yang lahir dalam rentang tahun 1980 sampai tahun 2000. Generasi Langgas menjadi sebuah terminologi populer ketika buku ‘Generasi Langgas’ yang ditulis oleh Yoris, Dilla Amran dan Youth Laboratory Indonesia terbit pada tahun 2016 dan menjadi best seller.

Dalam salah satu Bab buku tersebut dijelaskan mengenai Karakter dari Generasi Millenials atau Langgas. Bab tersebut merujuk kepada riset dari Muhammad Faisal PhD dan Tara Talita Msc dari biro riset Youth Laboratory Indonesia di lima kota besar (Jakarta, Medan, Bandung, Makassar, Malang) mengenai karakter dan perilaku dari Generasi Langgas.

Youth Laboratory Indonesia sendiri didirikan oleh Muhammad Faisal pada tahun 2009 dan telah intens selama 8 tahun terakhir melakukan studi etnografis juga survei pada Generasi Langgas (informasi lebih lanjut bisa didapatkan lewat www.enterthelab.com). Delapan karakter Generasi Langgas yang berhasil dicatat oleh Faisal dan Tara lalu dipaparkan dalam buku Generasi Langgas adalah sebagai berikut:

 1. Collective

Generasi Langgas adalah generasi paling kolektif sepanjang masa. Karakter kolektif ini tidak hanya didorong kecenderungan psikologis yang mengemuka pada generasi ini akan tetapi juga difasilitasi oleh kehadiran media sosial yang membantu para Langgas untuk mengaktualisasikan dorongan kolektif mereka. Tidaklah heran apabila Indonesia menjadi satu-satunya negara dimana penetrasi media sosial semakin tinggi namun alih-alih membuat para Langgas semakin individualis malah membuat mereka semakin kolektif. Wujudnya dapat ditemukan dalam berbagai komunitas yang kini mengemuka.

 2. Customization

Generasi Langgas di Indonesia tidak secara bulat-bulat menelan tren ‘overseas’ yang masuk ke dalam negeri, akan tetapi mereka terjemahkan dalam warna serta bentuk yang sesuai dengan nilai-nilai kelokalan. Kita bisa lihat bagaimana tren popular mengejawantah di kota Bandung, Yogyakarta, dan Makassar dalam rupa distro serta event pemuda yang sangat khas.

 3. Community

Generasi Langgas di Indonesia bergeliat melalui komunitas untuk menciptakan berbagai perubahan sosial. Mereka tidak secara pasif menunggu hadirnya perubahan dari struktur formal akan tetapi bergerilya membuka ruang kreasi bagi pemuda lain di sekitar mereka. Komunitas tumbuh kembang dengan pesat dalam ranah hobby maupun sosial sejak Generasi Langgas memasuki usia remaja.

 4. Close to Family

Generasi Langgas menjadi generasi yang paling dekat dengan keluarga. Keluarga menjadi tempat berlindung juga support moral bagi para Langgas di tengah hiruk-pikuk globalisasi. Bahkan, para Langgas kerap membantu orang tua mereka yang berasal dari Generasi Baby Boomers untuk catch up dengan berbagai perkembangan zaman.

 5. Change over Generation

Generasi Langgas menjadi generasi yang tumbuh besar di era transisi politik, yaitu reformasi 1998. Oleh karena itu, mereka memiliki karakter yang sangat terbuka terhadap bahkan bereksperimen dengan berbagai paham ideologis. Generasi Langgas sangat kritis serta tidak take it for granted dalam menerima sebuah paradigm tertentu.

 6. Chasing Inspiration

Generasi Langgas adalah generasi yang retrospektif. Mereka tak hanya melihat ke saat ini atau masa depan, akan tetapi mereka juga melihat kebelakang untuk mendapatkan inspirasi. Kita bisa dapati saat ini Generasi Langgas banyak menghidupkan kembali berbagai tren lama juga berinteraksi dengan para trendsetters dari kalangan generasi X.

 7. Connected

Generasi Langgas adalah generasi yang terkoneksi. Kemana-mana pasti mencari wi-fi, bukan hanya untuk bersosial media saja akan tetapi mereka memiliki kebutuhan dasar untuk sharing dan mengetahui update informasi yang berkembang dari berbagai belahan dunia. Mereka adalah orang pertama yang mengetahui kabar berita penting di pagi hari.

 8. Confidence

Generasi Langgas adalah generasi yang sangat percaya diri. Mereka terlatih sejak usia dini untuk tampil di depan publik lewat media digital, mereka adalah storyteller yang handal, kurator informasi, dan bisa melakukan berbagai keterampilan secara bersamaan.

Pengetahuan mengenai Generasi Langgas menjadi sangat penting mengingat ada bonus demografi yaitu 64 juta penduduk Indonesia berada di bawah usia 30 tahun.

Understanding young generation X-Y-Z in indonesia

To understand the younger generation in Indonesia, now required a more in-depth understanding of generational theory. Conception of archetypes introduce by Jung that empashize collective consciousness is needed more than ever to peel the difference between the three unique generations which are generation x, generation y, and z generation.

This Insight slide is an attempt to provide an overview of psychographic differences between young generations in Indonesia.

Youth Trend 2016 Kaleidoscope

I never thought I would wake up one morning in the digital age hearing the news that a Catatan Si Boy (a 1980s cult movie) remake would be aired on television, Warkop DKI Reborn (a 1980s comedy group) would be screened in cinemas, Blink 182 were topping the charts in the United States and the Pokémon Go game had become a worldwide hit. Do we really live in 2016?

This retro phenomenon does not stop there; in everyday life we can find a variety of gimmicks reappearing, from fashion items and songs, to foods, to food that was popular two to three decades ago.Strictly speaking, this phenomena can be seen in the younger generation to so-called millennials.

They now tend to like the same things that the baby boomer generation once did.

What is actually happening here? The rapid development of technology and social media may not be able to answer this question. The foundations of an answer to this question do not necessarily lie in technology, but in the human psyche.

Considering the evolution of these trends, we should begin to ask whether there actually is a repetitive pattern in the trend. Or to go deeper than that, whether the trend has a circular pattern that comes full circle over a certain period. If we can answer that, then we can make predictions about future trends.

In fact, scientists are already trying to answer these questions, and some of the most persistent in this mission are William Strauss and Neil Howe, authors of the wondrous book The Fourth Turning. In the 1990s, they made several accurate predictions about the millennial generation, the members of which were at that time around 8 years old. One of the predictions that proved to be true was the decrease of smoking among youth.

Uncommonly, Strauss and Howe crafted their predictions based on facts from American history.It turns out that studying the past can help us predict the future. Strauss and Howe found that in spite of various changes in the economy, politics, technology and trends, human archetypes from time to time have the same pattern.

Using Strauss and Howe’s approach, we can assume that the character of the millennial generation in Indonesia today is the result of collective experiences in the past.

What we see could conceivably be the reemergence of old archetypes.Usually the formula for the “outbreak” of Indonesian youth trends is very simple, most of them are influenced by overseas trends channeled to them via media.If Indonesian youth in big cities now have better access to overseas trends, then the case should be that any trends in the US or Europe could be immediately imitated by youth in Indonesia.

However, that does not always happen. There are various anomalies that are not linear with trends overseas. One of them is favoritism toward local culture. In Yogyakarta a hip-hop band who sing and rap in the Javanese language bring up local indigenous issues in their songs, while in West Java the hardcore music scene is mashing up their music with ethnic Sundanese instruments, one of the most prominent being Karinding attack. In Sumatra, from Medan to Sabang we can easily find many youth fashion outlets that display designs with ethnic flair and local gimmicks.

Those definitely have nothing to do with international trends. My intensive research on youth culture with Youth Laboratory Indonesia confirms it. I wonder then if the generational archetype cycle is also happening in Indonesia. Historical and generational studies conducted by Strauss and Howe have driven me to follow the same approach in explaining the various anomalies of existing trends in Indonesia.

I draw the boundary of generational archetypes from the 1900s, since the century spawned numerous national revolutionary figures like Sukarno, Tan Malaka, Agus Salim, Budi Utomo and HOS Tjokroaminoto. They lived in the era of colonialism, marked by major crises of identity, economic discrepancy, food deprivation and poverty. Such conditions create what is called a prophetic generation: one that is highly ideological, religious and has a high sense of nationalism.

After the prophetic generation passed within 30 years, came a new breed, a so-called generation of heroes. They appeared in the midst of national instability, a clash of ideologies and disintegration.Their traits are strong optimism, a tendency to be ideologically fanatic and a sense of responsibility for the future of the nation.

A few famous names include former president Soeharto, former president BJ Habibie, Akbar Tandjung, Emil Salim and Adam Malik.

Thirty years later appeared a new generation with a more competitive edge, who tend to be individualistic and less ideological. They are the nomad generation. They grew to maturity in an era when economic development was the primary purpose, freedom of speech was hampered and ideological discourse was a taboo. Some of its leading names are Iwan Fals, Rhoma Irama, Budiman Sudjatmiko, Rano Karno and novelist Hilman.

Now after 30 years have passed, comes the digital generation that is now known as the millennial generation, the most complicated generation ever. They arrived in the post-transition era, namely one of political reform, in which anticorruption tops the national agenda, radicalism flourishes, liberal economic policy is the norm and mobile technology becomes a necessity. Representing this generation are Raditya Dika, Dian Pelangi, Dian Sastrowardoyo, Raissa and VJ Daniel, who are theoretically alienated with their characteristics of feeling estranged, more communal, having a high passion for arts and creativity, pluralism and support of democracy.

They will continue to jazz up various public spaces and this nation’s historical timeline for the next 30 years. When again, theoretically, a new generation will reappear when the four generational cycles have passed. Like a full circle it will go back to the first generational archetype, which is the prophetic generation.

The anomalous trends and behavior of the current generation that we see today, such as the tendency of consuming old content, liking everything vintage, the rise of nationalism and high curiosity for indigenous culture, indicates that the archetype of this generation is going through a shifting process.

This archetypal turnaround process can go faster when a crisis, either national or global, occurs. This back-to-square-one process is a human defense mechanism of sorts to deal with various social and political challenges. Comprehending this, we should not be skeptical and pessimistic about our young generation as well as the myriad of crises engulfing the country. We will witness the emergence of new revolutionary figures similar to those who carved out Indonesian history in early 1900s. New Sukarnos, Tan Malakas, Agus Salims and HOS Tjokroaminotos will rise in different forms. Afterward we can expect to see a better Indonesia.

_____________________________

DR. Muhammad Faisal
The writer, who holds a doctoral degree in social psychology, is executive  director of Youth Laboratory Indonesia.