Generasi Phi, Generasi Bingung?

“Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.” (Neson Mandela)

Kalimat tersebut sering kali terdengar di beberapa tempat dan kesempatan. Mungkin saat belajar di kelas, seminar motivasi, ataupun diskusi. Lalu timbullah pertanyaan, pemuda seperti apakah yang bisa memimpin dan mengubah Indonesia untuk menjadi negara yang maju?

Dewasa ini, generasi muda yang kerap disebut sebagai generasi milenial tengah menjadi perbincangan. Dari berbagai obrolan, yang kerap terdengar adalah hal-hal negatif tentang generasi milenial. Mereka disebut asosial, tak punya loyalitas, individualis, dan masih banyak cap negatif lainnya yang dilontarkan.

Anggapan negatif itu bisa muncul karena generasi yang senior acapkali salah tafsir terhadap generasi milenial. Bukan karena kurang informasi dan data, melainkan karena kurang cermat melihatnya.

Tak mau suasana semakin keruh, Komunitas Perempuan Kebaya, Kopi, dan Buku menggelar diskusi bertema “Jebakan Milenial” di FX Sudirman, Jakarta, Jumat (23/2). Kali ini, diskusi menghadirkan dua pembicara, yaitu pendiri Youth Laboratory Indonesia, Muhammad Faisal dan Direktur Andal Software, Indra Sosrodjodo.

Diskusi ini diawali dengan pemaparan oleh Muhammad Faisal. Dia menjelaskan tentang pengertian generasi milenial yang diangkat sebagai tema diskusi. Menjalani sebuah biro riset anak muda pertama di Indonesia, Faisal mengaku lebih suka menggunakan sebutan generasi fi (phi, nama huruf ke-21 dalam abjad Yunani) daripada generasi milenial.

“Saya tidak gunakan sebutan generasi milenial, karena kesannya over judge. Huruf phi sendiri digunakan dalam ilmu biologi dan juga matematika sejak zaman Yunani kuno. Phi juga disebut sebagai golden ratio yang menyimbolkan harmoni dan kesempurnaan. Dalam arti, generasi milenial di Indonesia saat ini menampilkan dua sifat itu, harmoni dan kesempurnaan,” terangnya.

Perbedaan karakter dan sudut pandang dengan beberapa generasi sebelumnya membuat generasi phi “terlihat salah”. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Dalam buku Generasi Phi yang ditulis Faisal, antara lain tertulis,”Tidak pernah ada karakter generasi yang benar-benar baru. Karakter generasi adalah kolektif yang diwariskan dari generasi terdahulu.”

Dengan demikian, menurutnya, sebuah karakter terbentuk karena situasi sosial ataupun politik yang terjadi saat sebuah generasi dibesarkan. Dalam kurun waktu yang berjarak 30 tahun, hadir tiga generasi sebelum phi. Pertama, generasi “alfa”yakni angkatan Soekarno, Tan Malaka, dan Sutan Syahrir.  Mereka adalah founding fathers Indonesia. Dalam persoalan karakter, mereka adalah sosok yang memiliki sifat profektif.

Generasi kedua adalah “beta”, yakni angkatan Adam Malik, Soeharto, dan Bung Tomo, yang lebih memiliki sifat heroik. Generasi ketiga disebut “omega”, yang diisi oleh Iwan Fals, Rano Karno, Roy Marten, dan lain-lain. Dalam diri mereka terbenam rasa adaptif dan kompetitif, karena keterbatasan ruang berekspesi.

Sedangkan generasi phi adalah mereka yang lahir sekitar 1982 sampai 2004, (18-24 tahun). Menurut Faisal, phi adalah simbol yang mewakili generasi milenial yang kerap diangap irasional dalam bertindak. Mereka lahir dalam keadaan sosial-politik yang dipenuhi dengan perkembangan digital, radikalisme, korupsi besar dalam pemerintahan, dan pasar bebas. Generasi phi lebih cenderung tertarik pada industri kreatif dan mempunyai minat pada dunia politik.

“Generasi phi saat ini memiliki kecenderungan untuk tidak masuk ke dalam struktur pemerintahan. Mereka lebih senang melahirkan gerakan independen dan aksi kreatif yang relatif berbeda dengan gerakan politik masa lalu. Mereka lebih senang membicarakan isu dan sikap politik melalui media sosial,” terangnya.

Perilaku semacam itu, menurut Faisal, tidak buruk. Namun, bila terus dibiarkan, kemungkinan besar akan mengurangi kadar nasionalisme mereka beberapa tahun mendatang. “Mungkin tahun 2039 nanti yang dipilih menjadi presiden adalah seseorang yang mampu mendefinisikan Indonesia itu seperti apa,” katanya.

Selain itu, Faisal melihat generasi muda yang lahir di era digital kini mengalami “kebingungan mental”. Mereka mendapatkan banyak informasi, dari yang faktual hingga hoax. Mereka dipaksa untuk mencerna sendiri dan mempersepsikannya sebagai realita. Akibatnya, tak sedikit generasi muda mengalami kebingungan, bahkan frustrasi.

Untuk meminimalisasi dampak negatif perkembangan zaman terhadap generasi muda, Faisal menyatakan peranan komponen mikro, khususnya keluarga, sangat penting. Keluarga bisa menumbuhkan rasa nasionalisme, sekaligus menolak intoleransi dalam diri anak-anak muda. Hal itu bisa dilakukan, antara lain lewat diskusi-diskusi kecil, membangkitkan lagi kesenian lokal, dan juga melakukan pendekatan personal.

“Saya yakin budaya dapat menjadi jembatan penyambung persepsi dan pemahaman antargenerasi, serta mengurangi jurang prasangka dan steriotip,” ujar Faisal.

Hal senada disampaikan Indra. Dia mengaku kerap menemukan “kebingungan” yang menyelimuti generasi milenial. Dia juga mengaku cukup sulit menghadapi generasi milenial yang tak tentu arah. Bahkan, dirinya pun sulit mencari pegawai muda yang tertarik dengan perusahaannya yang bergerak di bidang teknologi dan informasi.

“Kalau anak muda berkata sulit cari pekerjaan, kita pun sama. Sulit cari pekerja muda yang memiliki tujuan hidup ke depan. Kebanyakan dari mereka bingung ketika ditanya mau jadi apa 10 tahun ke depan. Karena, mereka lebih mengejar passion daripada karier,” terangnya.

Untuk merangkul generasi milenial, Indra mengaku terus melakukan pendekatan personal kepada para pegawai-pegawai muda di kantornya. Sebagai atasan, dirinya mencoba untuk lebih terbuka, sehingga bisa mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan generasi milenial dalam merintis karier.

“Ya, saya lakukan tanpa adanya batasan bos dengan karyawan. Setelah saya lakukan itu, mereka (generasi milenial) jadi lebih terbuka. Di sanalah saya mengedukasi mereka, untuk tetap berjalan terstruktur dan mereka pun mampu menentukan arah kehidupan mereka,” terangnya.

Sumber : beritasatu.com

Jakarta (ANTARA News) – Puluhan pakar, akademisi dan pengusaha muda dari berbagai sektor duduk bersama dalam forum “Young Ideas Salon” membahas tren baru di dunia.

Young Ideas Salon adalah sebuah event international yang bermula dari Mumbai, lalu keliling ke Kuala Lumpur dan sekarang di Jakarta,” kata Muhammad Faisal M.Psi, penggagas Young Ideas Salon (Salon Ide Kaum Muda) di kampus Pasca Sarjana Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat.

Nantinya, acara ini berlanjut ke benua Afrika serta Eropa, tambah Faisal, pendiri YouthLab Indonesia.

Sebagai event kelas dunia, acara ini menghadirkan Graham Brown, pendiri dan direktur MobileYouth London.

Graham Brown dikenal sebagai pembicara dan penulis psikologi komunikasi serta media. Bersama rekannya, Josh Dhaliwal, Brown yang penulis buku Mobile Youth Report (2001) telah mengembangkan Mobile Youth untuk membantu 250-an client di 60 negara, termasuk Vodafone, Nokia, Coca-Cola, McDonalds, Telenor, Orange, O2, pemerintahan Inggris dan komisi Eropa.

Pembicara lain adalah Bernard Hor, pendiri Summer Sands Group, Kuala Lumpur, yang merupakan ahli dalam keterlibatan pemuda di Malaysia dan Direktur Paramadina Graduate School of Communication Putut Widjanarko Ph.D, dan Muhammad Faisal.

Di dalam acara itu para pembicara berinteraksi langsung dengan panelis pemuda dan hadirin, bersama-sama menggali masukan dan wawasan mengenai budaya pemuda dan menemukan pemikiran yang orisinil untuk konteks pemasaran bagi kalangan pemuda (youth marketing) di Indonesia.

“Pangsa pasar kaum muda kian menarik belakangan ini berkat perkembangan teknologi komunikasi yang demikian cepat,” kata Direktur Marketing dan Humas Paramadina, Syafiq Basri Assegaff.

Menurut Brown, dari pengalaman selama 10 tahun bekerja di bidang pemasaran dan komunikasi, penjualan paling besar berasal dari internal marketing.

“Artinya, dalam menyampaikan pesan pemasaran, kita tidak boleh melihat kaum muda sebagai tujuan semata, tetapi memberlakukan mereka selayaknya partner dalam pembuatan produknya,” ujarnya.

“Intinya, bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan mereka. Tugas kita sekarang bukan membombardir dengan iklan menyewa artis terkenal, dalam kata lain membeli kepercayaan mereka. Tetapi, kita harus memperoleh kepercayaan mereka,” kata Brown.(M-IFB/S016)

Sumber : Antaranews.com